Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 September 2011

Mohonkan Aku

Kata-kata itu telah menggulung
terlanjur
dan padanya ada sedikit simbul

Kata-kata itu telah mengepul
pada barisan yang tiada ujung
dan padanya ada peluh menyusul

Tapi beku telah berkumpul
pada pena yang sedikit berkemul
Maka,
Mohonkan aku padaNya Yang Maha Agung
Agar senantiasa mengguratkan yang tiada berujung
          menuliskan kebaikan yang selalu mengalun
         dan aku, penuhkan, sampai diakhir penghujung

Kamis, 08 September 2011

Semestinya Tidak

Karena bumi masih sempatkan ruang untukku
dan gurindam begitu saja berlalu
Tak ayalkah nafas berpendar pada waktu yang menggerutu?
Semestinya tidak.

Mengulum waktu,
mencari bintang pada sosok daun-daun membiru
Kosongkah lautku?
Semestinya tidak.

Lalu, pantaskah pinta sedikit memaksa
dan harap mengerat rapat-rapat?
Semestinya tidak.

By : Annisa Nur Azizah

Cukup Satu Jalanan

Tiada henti padang hujan memburu langit
dan hujan tak kunjung menerjang
Tiada luput sebutir bekuan air
yang melepas, dan meradang panjang

Gundah pun tak perlu bicara pada lembayung
Karena biru telah mengharu
Sedangkan rumpun terlanjur merumput
mengisi kotak-kotak pecahan yang lamban
Kau yang berada pada dinding yang berlumutkan keharuan
Menangis pun sedikit memberi pernafasan,
Tapi apakah menyelesaikan?
Tanyakan pada yang telah menggariskan
Bicarakan pada yang telah  merumuskan

Cukup,
Hanya satu jalanan
Tanpa haluan

By : Annisa Nur Azizah

Selasa, 06 September 2011

Burung-burung yang Tertawa

Teduhnya merambat dalam pori-pori cahaya yang menggaris
pada belah lahan yang gersang
Setidaknya ini halusinasi
Daripada oase ganas yang menggaruk keras pada jemari

Bukan aku sang penghayal,
Tapi ini adalah sedikit cita,
yang lebih tinggi
daripada palung yang terjungkir dan melengking

Sampaikan pada pak tua yang mengendus pada lara
Dan kurcaci-kurcaci yang meringis mencari gerimis
Derita itu hanya sementara,
hanya kita yang menganggap lama
Dan kau mau apa?
Gumam burung-burung yang tertawa

By : Annisa Nur Azizah

Senin, 05 September 2011

Untuk Pak Ontel


I
Kerikil-kerikil menatap lekat
Pak Ontel
dengan kopiah,
sarung,
kitab-kitab,
teduh tawaddu dan ikhlas
Mengayuh lembut sepeda setia

Dari jauh
Angin kabarkan Ashar segera tiba
Pak Ontel buru-buru

Batuknya berulang
Sampai di madrasah

II
Anak-anak berebut
Memegang dan menghormat
tangan setengah keriput yang turun dari
ontel tua yang renta

Batuknya berulang
Sampai hendak ia jadi Imam

III
Gadis kecil berjubah mengendus
Menatap kesal nasib yang malang
Pak Onterl tersenyum,
“Berdo’alah, aku pun mendo’akanmu ”

Batuknya berulang
Sampai sisa mentari habis tenggelam

IV
Wanita lembut tersenyum
Sampai di tepian mimpi
Yang bertahun
Hingga wanginya merebak :
            Aroma syurga

Lumut merayap habis madrasah,
menggigit lapis-lapis zaman yang lekang
Do’a yang ijabah
Ikhtiar yang kuat
Tawakkal yang hebat

Masih dengan jubah
Sang Wanita menatap
Dengan kristal yang berhormat
pada permata
Riak-riak sambut senyum terpa rasa bahagia,
“Ini untuk Pak Ontel”

Kertas yang teramat berhaga
Dari Diplomat,
gadis kecil yang mengendus kesal

Batuk itu berulang,
Dengan keriput yang basah
teriring puji yang Maha Kuasa

By : Annisa Nur Azizah

Sang Pengusik


Demi nafas yang tak berhaluan
Atas kesaksian lautan yang melebar
Dan daratan yang diretakkan.
Kuhamparkan goresan-goresan pena
menjadi deskripsi “Sang Pengusik”
yang getarkan elemen-elemen alam
dalam getar varian.

Demi kuatnya kejujuran
Atas terhormatnya Sang Pencipta alam
Kuhaturkan  kagum  padamu
yang  menjadi atmosfer dengan  tertutupnya auratmu
yang  rela menjadi  lampu  pijar dengan segala ilmu yang  kau  amalkan  selalu
yang  tersenyum  atas  respirasi ummat dengan  keluhuran budi segala sifatmu
dan laku yang begitu primer,
               yang dapat menjadi sekunder,
               yang  kebanyakan dianggap tersier.
Kau yang selalu bangkit melalui lembut tuturmu
Pijakan yang kuat atas tali keyakinan pada Rabb-mu
Kualitas amal yang jauh menjulang melebihi kuantitas jenismu.

Kau kunci peradaban, Sayang.
Penutur kajian yang mengalun dengan hamasah yang bekobar,
Serta sumber kearifan yang diidamkan
atas merekahnya realiata zaman yang selalu penuh kemelut
dan tak kunjung berkesudahan.

Kau begitu beruntung, Cantik.
Kau begitu hebat,
Hingga kau bisa usik perasaan bidadari
Sampai cemburu berat.

By : Annisa Nur Azizah

Balada Noktah

Setidaknya beberapa noktah itu
mulai hidup kembali,
Mulai mengukir jejak dan menjadi bentuk syurgawi.

Sekarang mungkin saatnya noktah ini
mulai memberi kesempatan pada waktu.
Melatih notah kecil ini,
membiasakannya dengan pedih, dan sedih.
Agar menjadi garis, lengkung, meliuk, dan menari
menjadi suatu bentuk terindah.

Cukuplah noktah ini sendiri,
Setidaknya dapat menenangkan hati
Menanti waktu yang pasti.
By : Annisa Nur Azizah

Menjadi Arang

Biarlah gubahan itu terlanjur menjadi asap
dan debunya mengerat di padang yang tak bertuan
Sekembalinya bumi pada haribaan
luputlah tautan yang terbiasa pada noktah-noktah yang tak terbantahkan.

Hanya butuh waktu menjadi arang
Lalu menjadi debu yang bertebaran.
 By : Annisa Nur Azizah