Senin, 05 September 2011

Belajar Membuat Kalimat


Di dunia anak-anak yang masih mengalami proses belajar membaca seperti taman kanak-kanak (TK) atau sekolah dasar (SD), ada seorang tokoh yang sangat terkenal dan akrab di mata mereka.  Tidak ada satu pun anak yang tidak mengenal tokoh tersebut.  Sampai-sampai kebiasaan ibu dan ayah sang tokoh juga diketahui oleh mereka.  Hal terpenting yang belum kita sadari adalah sebenarnya dulu pun kita sama seperti mereka.    Tidak percaya? Sekarang coba buka memori untuk menyelami kenangan-kenangan masa TK atau SD.  Masih ingatkah ketika ibu guru menuliskan beberapa kalimat di papan tulis yang bentuk kalimat-kalimatnya kurang lebih seperti ini : Ini Budi.  Ini Ibu Budi.  Ini Ayah Budi.  Ibu Budi pergi ke pasar.  Ayah Budi pergi ke kantor.  Ya, itulah Budi, tokoh terkenal itu.  Jika diteliti, sejarah terkenalnya Budi sepertinya memang masih samar.  Entah sejak kapan dan siapa yang menjadi promotor Budi agar hadir dalam setiap kalimat.  Alasan mengapa Budi yang harus terpilih sebagai tokoh utama dalam setiap kalimat juga masih belum jelas.  Apakah karena dirasa lebih mudah dieja oleh anak yang sedang belajar membaca?  Padahal masih banyak nama lain yang sama mudahnya untuk dieja seperti Dina, Wita, Redi dan Heri misalnya.

Pekara Budi yang dipilih sebagai tokoh dalam kalimat, jika dipandang secara kasat mata memang tidak begitu penting.  Tapi sebenarnya jika didalami akan ditemukan beberapa dampak yang kurang baik.  Apalagi jika ditambah dengan perkara kebiasaan atau pekerjaan ibu dan ayah Budi.   Semuanya berdampak pada pengembangan cara berfikir anak-anak yang  rata-rata notabene belum bisa berfikir secara fleksibel dan mendalam.  Budi beserta pekerjaan ibu dan ayahnya rata-rata dianggap sebuah hal paten.  Mereka bisa menyimpulkan bahwa dalam keluarga itu : Ibu adalah orang yang selalu pergi ke pasar dan Ayah adalah orang yang bekerja di kantor. Sehingga, bagi kebanyakan anak yang masih jarang dan belum bisa berfikir fleksibel serta agak kritis akan merasa kebingungan ketika mereka melihat ayah mereka pergi ke pasar dan ibu mereka pergi ke kantor, misalnya.  Padahal memang itulah pekerjaan orang tua mereka.  Sang Ayah adalah pemilik beberapa kios di pasar dan memiliki pegawai yang banyak, sehingga hampir setiap hari harus pergi ke pasar.  Sedangkan sang Ibu adalah sekretaris di sebuah perusahaan.  Fenomena ini sesungguhnya hal kecil yang berefek panjang.  Karena itulah, membuat kalimat bukan sebatas merangkaikan SPOK (subjek, perdikat, objek dan keterangan), menentukan di mana huruf kapital disimpan, mengetahui morfem, prase dan klausa, atau hal terkait lainnya. Melainkan : membuat kalimat adalah proses pengembangan pola berfikir dan mempengaruhi prilaku secara psikologis, baik secara langsung  ataupun tidak.

Kembali kepada Budi.  Nama yang cukup fenomenal ini bisa dikatakan cukup berjasa mencetak sekian banyak anak yang bisa membaca karena eksistensinya dalam kalimat.  Meskipun sebenarnya jasa terbesar berasal dari perjuangan para pengajar.  Budi yang disertakan dalam kalimat sebenarnya sah-sah saja.  Tapi, karena belajar (baca: sekolah) bukan hanya bertujuan untuk sekedar mengetahui suatu disiplin limu, melainkan ditambah dengan pengembangan kepribadian.  Oleh karena itu, alangkah baiknya bukan hanya Budi yang menjadi tokoh dalam kalimat.  Peserta didik alias anak-anak yang sedang belajar itu sendirilah yang menjadi tokoh.  Misalnya dalam kalimat sederhana seperti: Budi sedang membaca buku  diganti subjeknya dengan nama peserta didik.  Hal ini sedikit demi sedikit akan meningkatkan kepercayaan diri kepada yang bersangkutan.  Agar lebih efektif lagi kalimat tersebut ditulis di papan tulis.  Sehingga dapat dilihat dan dibaca oleh sekian banyak pasang mata yang sama-sama masih belajar membaca.  Kemudian nama tersebut diganti dengan nama peserta didik lain begitu juga dengan kata kerja atau perdikatnya secara bergantian.  Dan dari sana-lah keakraban, percaya diri, pemahaman bahwa kalimat adalah sesuatu yang fleksibel, cara penulisan nama dan lain sebagainya mulai terasah sekaligus berkembang.  Hasil dari  proses tersebut dapat terlihat ketika mereka  duduk di tingkat yang lebih tinggi.  Sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas misalnya.  Bagi peserta didik yang sejak kecil terbiasa diajarkan dan melakukan pengembangan kalimat seperti yang telah dicontohkan, akan lebih cepat dan variatif ketika mendapat tugas membuat kalimat yang banyak dan ditentukan kata kerjanya, dibanding dengan yang tidak.  Bahkan yang tadinya belum terbiasa melakukan hal tersebut akan mengganti kata kerja saja pada setiap kalimatnya.  Kalimat yang mereka buat selalu monoton.  Namun, ternyata kalimat monoton ini juga dibuat oleh peserta didik yang sudah biasa mengembangkan kalimat.  Peserta didik yang terbiasa mengembangkan kalimat dan terbiasa malas menulis juga malas membaca.  Kejadian ini bisa diketahui ketika kata yang harus disertakan dalam kalimat adalah istilah yang jarang muncul atau serapan dari bahasa asing sehingga perlu dicari artinya terlebih dahulu.  Misalnya perspektif.  Dari istilah tersebut mereka akan membuat kalimat berbentuk seperti ini : Pak Ahmad menugaskan kepada kelas XII IPA 3 untuk membuat kalimat dari kata  perspektif. Sebenarnya memang kreatif dan antisipatif jika hanya dibuat untuk sebuah kalimat.  Jika semua kalimat bebentuk sama? Itu masih jadi masalah.   Kalau begitu, apa yang menjadi sebab dari masalah tersebut dan bagaimana solusinya? Jawabannya adalah motivasi dan perbaikan pola berfikir.

Berbicara tentang motivasi, kalimat termasuk kedalam golongan pemberi motivasi yang ampuh jika diterapkan secara baik.  Cobalah bedakan dua pernyataan seorang ibu kepada anaknya berikut ini : 1. Nilai ulangan Matematika kamu harus lebih bagus lagi! Kamu ini anak ibu, guru Matematika di SMA yang terkenal.  2. Nilai ulangan Matematika-nya diperbaiki lagi ya? Ibu berharap anak ibu yang satu ini Matematika-nya lebih jago dari Ibu yang jadi guru Matematika di SMA yang SBI. Bisa dibedakan? Tentu saja bisa.  Mulai dari jumlah kata, kata yang dipakai, hingga penekanan dalam kalimat sudah berbeda.  Tapi inti atau benang merahnya bukan hal tersebut, melainkan terdapat dalam makna yang terkandung dalam kalimat itu sendiri.  Anak yang mendapat lontaran kumpulan kata nomor satu, belum tentu tergerak untuk semakin semangat belajar Matematika demi meningkatkan nilai dan gengsi ibunya.  Bisa saja anak tersebut akan membenci pelajaran Matematika atau bahkan ibunya sendiri.   Berbeda dengan yang nomor dua.  Secara global tidak ada manusia yang senang disalahkan apalagi sambil dimarahi, oleh karena itu pilihan nada bicara dan dikisi yang digunakan pada kumpulan kata nomor dua akan lebih menyentuh dan memotivasi.  Inilah kekuatan kata yang dirangkai menjadi kalimat, sehingga  menjadi sarana pengembangan pola berfikir dan penumbuh motivasi.

Kata adalah bagian dari kalimat.  Kalimat  merupakan bagian dari bahasa.  Keduanya teramat penting dalam kehidupan.  Terkadang ada dalam dimensi gelap, kadang juga ada dalam dimensi terang.  Kita sebut saja keduanya sebagai mahluk dua dimensi atau mahluk hitam-puith.  Mengapa demikian? Karena mahluk tersebut bisa membawa petaka dan bahagia, seperti dua contoh yang telah disebutkan sebelumnya.  Mungkin  inilah yang menjadi salah satu sebab terlahirnya sebuah buku berjudul “Words Like Sword” (Kata-kata bagaikan pedang).  Jika mengacu kepada pepatah arab al-waqtu kassaif, idzaa lam taqto qoto’aka (waktu bagaikan pedang, jika tidak digunakan ia akan memenggalmu), maka bisa dimaknai bahwa kata-kata jika tidak digunakan (dengan  baik) maka perlahan akan memenggal kita sendiri karena kata-kata setajam pedang.  Bisa melukai orang lain dan menolong orang lain layaknya samurai seorang pendekar.  Jikalau pendekar belajar menggunakan samurainya bertahun-tahun yang hanya digunakan untuk waktu tertentu, bagaimana dengan kata-kata alias kalimat yang senantiasa digunakan dan tidak akan pernah lepas dari kehidupan? Inilah sebabnya belajar membuat kalimat bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.  Karena fleksibel dan berdampak luas, sepertinya kita tidak perlu merasa rugi untuk terus belajar membuat kalimat yang baik.  Tidak peduli berapa usia dan apapun status kita.

Oleh : Annisa Nur Azizah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar